Hidup di perantauan tentulah berbeda dengan hidup di kampung halaman. Kemandirian, kesiapan untuk menanggung beban, bahkan kesendirian adalah resiko yang harus diterima. Meski tiket pesawat tak lagi mahal, Handphone merajalela, pulsa beradu tanding menawarkan tarif murah, tetaplah komunikasi face to face tak bisa tergantikan. Apa yang harus dilakukan? Padahal setiap saat kebutuhan berbagi selalu ada. Tekanan di dunia kerja dan beban masalah membutuhkan kehadiran orang – orang terdekat yang bisa menenteramkan perasaan. Belum lagi kerinduan akan kebersamaan dan suasana kekeluargaan kerap mendera saat rutinitas dan target pencapaian di perusahaan membuat tubuh dan jiwa letih luar biasa. Perhatian, itu yang kemudian paling dinantikan. Persaudaraan, meski bukan dalam artian harfiah, itu yang diharapkan.
Siapakah saudara saat tak ada sanak keluarga? Siapakah saudara saat tak ada orang tua? Saudara yang tidak hanya berbagi disaat suka tapi juga ikut menanggung di kala duka. Saudara yang merasa sama – sama perantauan sehingga tidak perlu saling menjatuhkan. Saudara yang bisa mengingatkan disaat perjalanan hendak melenceng dari petuah dan nasehat ayah bunda. Saudara yang mendukung saat kebaikan dan perubahan menuju kemajuan ditapaki dengan keyakinan. Saudara yang saat dibutuhkan mengulurkan tangan tanpa diminta. Siapa sajakah saudara di saat jauh dari sanak keluarga? Setidaknya ada tiga.
Tetangga.
Teman.
Teman lebih berkonotasi hubungan interpersonal. Artinya, tidak selalu lahir dari hubungan kerja. Teman atau sahabat cenderung lebih dekat daripada tetangga. Ibaratnya tetangga adalah UGD ( Unit Gawat Darurat ), maka teman menjadi URJ ( Unit Rawat Jalan ). Tak heran bila teman terasa lebih kental nuansa persaudaraannya. Kepercayaan terhadap teman relatif besar. Terkadang, kepercayaan itu juga yang membuat seseorang mudah terpengaruh temannya. Bila ingin melihat seseorang, lihatlah temannya. Teman yang baik adalah yang bisa menjaga kita, bukan sekedar OK OK saja. Jadi, kualitas personal seseorang juga bisa dilihat dengan kualitas pertemanannya. Hati – hati memilih teman, begitu kata orang tua.
Rekan.
Rekan bisa menjadi teman bisa tidak. Rekan lebih mengacu pada dunia kerja. Karena datang ke Batam berawal dari mimpi mendapatkan hidup yang lebih baik, rekan kerja tidak bisa dijadikan lawan. Banyak yang bisa menjadikan rekan sebagai teman, tetapi tidak sedikit juga yang sebaliknya. Padahal, siapa yang paling bisa diharapkan dukungannya saat pekerjaan sebagai sumber penghasilan terancanm kalau bukan rekan? Kerekanan ini bahkan diorganisasikan dalam bentuk asosiasi, ikatan, persatuan, aliansi, dan masih banyak lagi. Tujuannya satu, menjalin persaudaraan atas nama pekerjaan demi tercapainya kepentingan.
Teatangga, teman, dan rekan hanyalah sebutan. Apabila sebutan itu kita satukan dalam konteks persaudaraan, maka tidak ada yang terasa berat dalam kehidupan. Termasuk, hidup di Batam yang serba mahal, serba kompetitif, serba keras, serba individualis, dan entah serba apalagi. Saat seseorang kehilangan ketiga hal tersebut, pastilah dunia batam yang 415 kilometer persegi terasa sepetak saja. Tapi, memang manusia makhluk teraneh di dunia. Buktinya, banyak kejahatan dan kesengsaraan tetangga, teman dan rekan yang tidak terendus orang – orang terdekatnya. Sebaliknya, pelaku kejahatan bisa datang dari tiga kalangan yang semestinya tersatukan dalam paradigma persaudaraan. Dunia memang ironi.
wassalam,